Sabtu, 02 April 2011

HUKUM POLIGAMI

Syaikh bin Baz mengatakan [Majalah Al-Balagh, edisi 1028 Fatwa Ibnu Baz] :

Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, karena firmanNya “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3]

Dan praktek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri, dimana beliau mengawini sembilan wanita dan dengan mereka Allah memberikan manfaat besar bagi ummat ini. Yang demikian itu (sembilan istri) adalah khusus bagi beliau, sedang selain beliau dibolehkan berpoligami tidak lebih dari empat istri. Berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak, tunduknya pandangan (ghaddul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan.

Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa : 3]

TAFSIR AYAT POLIGAMI

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]

Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa : 129]

Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adail itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan ?

Mengenai hal ini, Syaikh bin Baz mengatakan [Fatawa Mar'ah. 2/62] :

Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa : 129]

Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam do’a: “Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]

KERIDHAAN ISTRI TIDAK MENJADI SYARAT DI DALAM PERNIKAHAN KEDUA

Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz : Majalah Al-Arabiyah, edisi 168] :

Jika realitasnya kita sanggup untuk menikah lagi, maka boleh kita menikah lagi untuk yang kedua, ketiga dan keempat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anda untuk menjaga kesucian kehormatan dan pandangan mata anda, jikalau anda memang mampu untuk berlaku adil, sebagai pengamalan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’alaDan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng baginya” [Muttafaq ‘Alaih]

Menikah lebih dari satu juga dapat menyebabkan banyak keturunan, sedangkan Syariat Islam menganjurkan memperbanyak anak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Kawinilah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyayangi umat-umat yang lain dengan bilangan kalian pada hari kiamat kelak” [Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban]

Yang dibenarkan agama bagi seorang istri adalah tidak menghalang-halangi suaminya menikah lagi dan bahkan mengizinkannya. Selanjutnya hendak kita berlaku adil semaksimal mungkin dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap istri-istri kita. Semua hal diatas adalah merupakan bentuk saling tolong menolong di dalam kebaikan dan ketaqwaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirmanDan saling tolong menolong kamu di dalam kebajikan dan taqwa” [Al-Maidah : 2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Dan Allah akan menolong seorang hamba selagi ia suka menolong saudaranya” [Riwayat Imam Muslim]

Anda adalah saudara seiman bagi istri anda, dan istri anda adalah saudara seiman anda. Maka yang benar bagi anda berdua adalah saling tolong menolong di dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih bersumber dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, Barangsiapa yang menunaikan keperluan saudaranya, niscaya Allah menunaikan keperluannya”

Akan tetapi keridhaan istri itu bukan syarat di dalam boleh atau tidaknya poligami (menikah lagi), namun keridhaannya itu diperlukan agar hubungan di antara kamu berdua tetap baik.

BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAK-ANAK YATIM

Ada sebagian orang yang berkata, sesungguhnya menikah lebih dari satu itu tidak dibenarkan kecuali bagi laki-laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat berlaku adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya (perempuan yatim). Mereka berdalil dengan firman Allah Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” [An-Nisa : 3]

Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz, di dalam Majalah Al-Arabiyah, edisi 83]
:

Ini adalah pendapat yang bathil. Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa memberikan mahar sepadan kepadanya, maka hendaklah mencari perempuan lain, sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu terhadapnya.

Ayat diatas memberikan arahan tentang boleh (disyari’atkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan pandangan mata dan memelihara kesucian diri, dan karena merupakan pemeliharaan terhadap kehormatan kebanyak kaum wanita, perbuatan ikhsan kepada mereka dan pemberian nafkah kepada mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya perempuan yang mempunyai separoh laki-laki (suami), sepertiganya atau seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun dengan syarat adil dan mampu untuk itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh mempergauli budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana saat beliau wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah berfirman Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik” [Al-Ahzab : 21]

Hanya saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah kaum laki-laki, pent) bahwa tidak seorangpun boleh menikah lebih dari empat istri. Jadi, meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menikah adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya itu merupakan hukum khusus bagi beliau.

Sumber :

Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq.

Sabtu, 12 Maret 2011

IBU ADALAH PIHAK YANG PALING BERHAK


Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami isteri mengalami perceraian dengan meninggalkan seorang anak (anak yang masih kecil atau anak cacat), maka ibunyalah yang paling berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak mengetahui adanya seorang ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.

Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yang paling terlihat sayang dan paling dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai kedekatan dengan si anak selain bapaknya. Adapun tentang kasih-sayang, tidak ada seorang pun yang mempunyai tingkatan seperti ibunya. Suami (ayahnya) tidak boleh mencoba menanganinya sendiri, akan tetapi perlu menyerahkannya kepada ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri ayahnya (suaminya).


Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu membuat satu ungkapan yang indah:


"Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya".


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari'at. [1]


Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:


يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي


"Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku".


Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab:

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي


"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah". [2]


Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya.


UNSUR-UNSUR YANG DAPAT MENGHALANGI HAK ASUH ANAK

Meskipun pengasuhan anak merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia tidak bisa mendapatkan hak pengasuhan ini. Ada beberapa faktor yang dapat menghalangi haknya. Di antaranya sebagai berikut.


Pertama. Ar-Riqqu. Maksudnya, orang yang bersangkutan berstatus sebagai budak, walaupun masih "tersisa sedikit". Karena hadhonah (mengasuh) merupakan salah satu jenis wilayah (tanggung jawab). Adapun seorang budak, ia tidak mempunyai hak wilayah. Karena ia akan disibukkan dengan pelayanan terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan terbatasi hak tuannya.


Kedua. Orang Fasiq. Orang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Kondisinya lebih Orang seperti ini, ia mengerjakan maksiat sehingga keluar dari ketaatan kepada Allah. Itu berarti, ia tidak bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan. Sehingga, hak asuh anak terlepas darinya. Keberadaan anak bersamanya -sedikit atau banyak- ia akan mendidik anak sesuai dengan kebiasaan buruknya. Ini dikhawatirkan akan berpengaruh negatif bagi anak, yang tentunya berdampak pada pendidikan anak.


Ketiga. Orang Kafir.
Lebih buruk dari orang fasik. Bahaya yang muncul darinya lebih besar. Tidak menutup kemungkinan, ia memperdaya si anak dan mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman keyakinan agama kufurnya.


Keempat. Seorang Wanita Yang Telah Menikah Lagi Dengan Lelaki Lain.
Dalam masalah pengasuhan anak, ibulah yang lebih memiliki hak yang utama. Akan tetapi, hak ini, secara otomatis gugur, bila ia menikah lagi dengan laki-laki ajnabi (laki-laki lain). Maksudnya, lelaki yang bukan dari kalangan 'ashabah (pewaris) anak yang diasuhnya. Tetapi, jika sang ibu menikah dengan seorang laki-laki yang masih memiliki hubungan tali kekerabatan dengan si anak, maka hak asuh ibu tidak hilang.
Atau misalnya, seorang wanita yang telah diceraikan suaminya, dan kemudian ia menikah dengan lelaki lain (ajnabi), maka dalam keadaan seperti ini, ia tidak memperoleh hak asuh anak dari suaminya yang pertama. Dengan demikian hak pengasuhannya menjadi gugur, berdasarkan kandungan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :


أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي


"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah".


Demikian beberapa faktor yang dapat menghalangi seseorang tidak memperoleh hak asuh bagi anaknya. Apabila faktor-faktor penghalang ini lenyap, misalnya seorang budak telah merdeka seutuhnya, orang fasik itu bertaubat, orang kafir telah memeluk Islam, dan si ibu diceraikan kembali, maka orang-orang ini akan memperoleh haknya kembali untuk mengasuh anaknya.


KAPAN ANAK MENENTUKAN PILIHAN?

Pada usia yang telah ditentukan syari'at, anak berhak menentukan pilihan untuk hidup bersama dengan ibu atau ayahnya. Dalam hal ini harus terpenuhi dua syarat.


Pertama : Ayah dan ibunya harus layak mendapatkan tanggung jawab mengasuh anaknya (ahlil hadhonah). Artinya, salah satu faktor yang menghalangi seseorang boleh pengasuh anaknya tidak boleh melekat padanya.

Kedua : Si anak sudah 'aqil (berakal). Jika ia mempunyai cacat, maka ia tetap berada di bawah pengawasan ibunya. Pasalnya, karena wanita lebih sayang, lebih bertanggung jawab, dan lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan anak.


PERBEDAAN ANTARA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Seorang anak laki-laki, ia dihadapkan pada pilihan untuk menentukan. Yaitu, ia hidup bersama ayahnya atau ibunya, apabila ia sudah berusia tujuh tahun. Ketika telah berusia tujuh tahun, berakal, maka ia memutuskan pilihannya, dan kemudian tinggal bersama dengan orang pilihannya, ayah atau ibunya. Demikian ini keputusan yang telah diambil oleh Khalifah 'Umar dan 'Ali.


Dasarnya ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah. Ia mengadu, "Suamiku ingin membawa pergi anakku," maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada bocah itu, anaknya: "Wahai anak kecil. Ini adalah ayahmu, dan itu ibumu. Pilihlah siapa yang engkau inginkan!" Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, dan kemudian mereka berdua berlalu.[3]


Apabila anak memilik ayahnya, maka ia berada di tempat tinggal sang ayah siang dan malam. Supaya ayahnya leluasa menjaga, mengajari dan mendidiknya. Akan tetapi, tidak boleh menghalangi keinginan anak untuk menjenguk ibunya. Sebab menghalanginya, berarti menumbuhkan sikap durhaka kepada ibunya dan menyebabkan terputusnya tali silaturahmi.


Jika ia memilih ibunya, maka si anak bersama ibunya saat malam hari. Sedangkan siang hari, ia berada bersama ayahnya, untuk menerima pendidikan dan pembinaan.


Akan tetapi, jika si anak diam, tidak menentukan keputusan dalam masalah ini, maka ditempuhlah undian. Ini berarti kedua orang tuanya tersebut tidak ada pihak yang sangat istimewa dalam pandangan anak, sehingga diputuskan dengan qur`ah (undian).


Keterangan
di atas berlaku pada anak lelaki. Bagaimana jika anak tersebut perempuan?

Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih ke ayahnya, sampai ia menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik pemeliharaan dan penjagaan terhadapnya. Selain itu, seorang ayah lebih berhak menerima wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun, bukan berarti ibunya tidak boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang menghalang-halangi ibu sang anak yang ingin menengoknya itu, kecuali jika menimbul hal-hal yang tidak baik atau perbuatan haram.


Seandainya, ternyata ayah tidak mampu menangani pemeliharaan putrinya, atau tidak peduli dengan masalah itu, lantaran kesibukan atau kedangkalan agamanya, maka sang ibu berhak mengambil alih, dan sang anak perempuan ini hidup bersama ibunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad dan para muridnya memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yang sudah berusia tujuh tahun), bila tidak menimbulkan bahaya (masalah) kepada putrinya. Bila diperkirakan sang ayah tidak mampu menjaga dan melindunginya, (dan justru mengabaikannya lantaran kesibukan, maka ibunyalah yang (berhak) menangani penjagaan dan perlindungan baginya. Dalam kondisi seperti ini, sang ibu lebih diutamakan. Munculnya unsur kerusakan pada anak perempuan yang ditimbulkan oleh salah seorang dari orang tuanya, maka tidak diragukan lagi, pihak lain (yang tidak menimbulkan masalah bagi anak perempuannya itu), lebih berhak menanganinya. [4]


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menambahkan, bila diperkirakan bapaknya menikah lagi dan menitipkan putrinya di pangkuan ibu tirinya itu yang enggan menangani kemasalahatannya, bahkan (ibu tirinya itu) menyakiti dan mengabaikan kebaikan bagi diri (putrid)nya, sedangkan ibunya (sendiri) bisa memberikan maslahat baginya, tidakmenyakitinya, maka dalam keadaan seperti ini, secara pasti hak hadhonah menjadi milik ibu.[5]


SOLUSI JIKA TERJADI POLEMIK ANTARA ISTERI DAN MANTAN SUAMI BERKAITAN DENGAN PENGASUHAN ANAK

Tak dipungkiri, terkadang pengasuhan anak ini juga menimbulkan problema yang disebabkan persoalan yang kadang muncul.


Sebagai contoh, bila salah seorang dari suami atau isteri ingin bepergian jauh dan tinggal sementara di tempat yang dituju, tanpa ada maksud buruk, situasinya aman, maka dalam keadaan seperti ini, hak hadhonah menjadi milik ayah, baik ayah bepergian ataupun tidak. Ayahlah yang mesti mengurusi pendidikan dan pemeliharaannya. Karena, bila si anak berada jauh dari ayah, sehingga menyebabkan ayahnya tidak bisa melaksanakan tugasnya, akan berakibat si anak tidak terurus.


Jika bepergian tersebut tidak jauh, masih berada dalam jarak qoshor sholat, dan berencana tinggal di sana, maka hak asuh ini menjadi milik ibu si anak. Sebab, ibu lebih sempurna kasih sayangnya kepada anak. Dan lagi, dalam keadaan seperti ini, si ayah masih sangat mungkin bisa melihat keadaan anaknya.


Adapun, jika bepergian itu untuk suatu tujuan, kemudian langsung kembali, atau rute perjalanan maupun kondisi negeri yang dituju mengkhawatirkan, maka hak hadhonah beralih kepada pihak yang tidak bepergian. Sebab, bepergian dalam keadaan seperti itu, akan menimbulkan mara bahaya baginya.


Ibnul Qayyim menyatakan: "Kalau menginginkan kekisruhan masalah atau merekayasa untuk menggugurkan hak asuh ibu, kemudian si ayah bapak melakukan perjalanan yang diikuti oleh anaknya, (maka) ini merupakan hilah (rekayasa) yang bertentangan dengan tujuan yang dimaksudkan syari'at. Sesungguhnya syari'at menetapkan, ibu lebih berhak dengan hak asuh anak daripada bapak jika kondisi tempat tinggal berdekatan, sehingga dimungkinkan untuk menengok setiap waktu".[6]


Demikian kaidah-kaidah ringkas mengenai hak asuh anak. Bahwa Islam sangat menjaga dan memelihara ikatan keluarga, meskipun antara suami dan isteri, atau antara ayah dan ibu si anak tersebut melakukan perceraian, yang tentu saja akan memengaruhi psikologis anak itu sendiri. Solusi Islam ini sangat berbeda dengan yang ditawarkan hukum publik. Begitu juga sangat berbeda dengan yang dikembangkan masyarakat Barat. Di kalangan Barat, jika terjadi persengketaan antara suami isteri, perebutan anak asuh pasti terjadi dan penyelesaiannya pun berlarut-larut. Bahkan bisa jadi memutuskan tali kekerabatan di antara mereka. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain untuk menjaga keutuhan komunitas, kecuali dengan Islam. Wallahu a'lam. (Mas)


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_________
Footnotes
[1]. Majmu' al Fatawa (17/216-218).

[2]. HR Ahmad (2/182), Abu Dawud (2276) dan al Hakim (2/247). Syaikh al Albani menilainya sebagai hadits hasan.

[3]. HR Abu Dawud (2277), at-Tirmidzi (1361), an-Nasa-i (3496), Ibnu Majah (2351).

[4]. Fatawa Syaikhil-Islam (34/131).

[5]. Fatawa Syaikhil-Islam (34/132).

[6]. I'lamul-Muwaqqi'in (2/295).

Minggu, 17 Oktober 2010

World Trade Organization (WTO)

Devinisi WTO
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara.menurut emanuel kant Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata.

Sejarah pembentukan WTO
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tariff. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.

Prinsip-prinsip Sistem Perdagangan Multilateral
a. MFN (Most-Favoured Nation): Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang
Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.
b. Perlakuan Nasional (National Treatment)
Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
c. Transparansi (Transparency)
Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.

Menurut Aprilia Gayatri yang diambil dari Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Prinsip yang telah disebutkan diatas, ditambah lagi dengan
a. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantatif
Ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi keantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk – produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX) hal ini
disebabkan karena praktik demikian mengganggu praktik perdagangan yang normal.
b. Prinsip Perlindungan melalui Tarif
Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya – upaya perdagangan lainnya (non-tarif commercial measures). Perlindungan melalui tarif ini menunjukkan dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Sebagai kebijakan untuk mengatur masuknya barang ekspor dari luar negeri, pengenaan tarif ini masih dibolehkan dalam GATT. Negara – Negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industry dalam negerinya untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan.



c. Prinsip Resiprositas
Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada pembukaan GATT dan berlaku dalam perundingan – perundingan tarif yang didasarkan ata dasar timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.

Sumber hukum perdagangan internasional
• Perjanjian Internasional
• Hukum Kebiasaan Internasional
• Prinsip2 Hukum Umum
• Putusan Badan Pengadilan dan Doktrin
• Kontrak
• Hukum Nasional
Menurut immanuel kant yang ditulis oleh Budiman N.P.D Sinaga
Sumber hukum perdagangan internasional meliputi perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, putusan-putusan badan pengadilan dan doktrin, kontrak, dan hukum nasional. Diantara berbagai sumber hukum tersebut yang terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh sendiri oleh para pedagang sendiri.

Perkembangan WTO
Lahir pada awalnya dari para pedagang. Para pedagang menciptakan hukum nya sendiri yang lazim disebut dengan Lex Mercatoria (law of merchant)
Lex Mercatoria tumbuh dari adanya empat faktor :
a. Lahirnya aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam berbagai pekan raya.
b. Lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut
c. Lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan
d. Berperannya Notaris dalam memberikan pelayanan jasa-jasa hukum
Perkembangan WTO tidak lepas dari sejarah awal pembentukan hingga sekarang ini. Yang mana Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).
Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.

OPSI UNTUK INDONESIA
Membuka perekonomian dan berintegrasi dengan perekonomian dunia sejak awal tahun 1980-an Perhatian khusus terhadap industri seperti halnya dengan industri tekstil (kompetisi antara China dan Vietnam secara negatif mempengaruhi ekspor negara-negara ASEAN lainnya untuk mengembangkan pasar negara, pasca akhir tahun 2004 hingga sistem kuota Perjanjian Multifiber) adalah kondisi umum ekonomi.

Kamis, 05 Agustus 2010

Sabtu, 03 Juli 2010

akad Murabahah

Dikeluarkannya Fatwa Bunga Bank Haram dari MUI Tahun 2003 menyebabkan banyak lembaga ekonomi yang menjalankan prinsip syariah. Seiring dengan hal tersebut di atas, Lembaga Keuangan Syariah yang ruang lingkupnya mikro yaitu Baitul Maal wal Tamwil (BMT) juga semakin menunjukkan eksistensinya. Seperti halnya bank syariah, kegiatan BMT adalah melakukan penghimpunan (prinsip wadiah dan mudharabah) dan penyaluran dana (prinsip bagi hasil, jual beli dan ijarah) kepada masyarakat. Penyaluran dana dengan prinsip jual beli dilakukan dengan akad murabahah, salam, ataupun istishna. Penyaluran dana dengan prinsip jual beli yang paling dominan adalah murabahah. Berdasarkan data statistik perbankan syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia pada awal tahun 2004, jual beli murabahah menunjukkan posisi lebih dari 60% pada BMT Budi Mulia Bokoharjo.

Pengertian dari murabahah sendiri secara bahasa berasal dari bahasa Arab: مرابحه Murabahah (perkongsian untung), atau Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara lembaga syariah dan nasabah.

Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjualan dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.

Dalam fatwa Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000
tentang Murabahah, sebagai landasan syariah transaksi murabahah adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an : Al-Baqarah [2]:275.

b. Al-Hadits : Hadis Nabi dari Abu Said al-Khudri: Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.”(H.R. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).

c. Ijma’ : (Ibnu Rusyd, V/220-222). II/161; al-Kasani.

d. Kaidah Fikih : “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

Murabahah dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu : (1) Murabahah tanpa pesanan dan (2) Murabahah berdasarkan pesanan. Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat dan murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat tidak mengikat. Sedangkan jika dilihat cara pembayarannya, maka murabahah dapat dilakukan dengan cara tunai atau dengan pembayaran tangguh.

Untuk melakukan suatu akad murabahah, pada BMT Budi Mulia Bokoharjo memiliki ketentuan sendiri, yaitu:

a. Anggota/nasabah memiliki jaminan untuk diserahkan kepada BMT selama masa perjanjian (jaminan boleh berupa rekening/tabungan yang ada pada BMT tersebut)

b. Anggota memberikan uang muka

c. Sanksi/denda bagi anggota yang inkar janji dengan mengambil jaminannya atau memberikan perpanjangan waktu sesuai kesepakatan.

Adapun prosedur pengajuan pembiayaan murabahah sebagai berikut:

a. Nasabah mengajukan permohonan untuk menjadi anggota BMT.

b. Nasabah datang pada BMT untuk mengajukan permohonan pembiyaan murabahah dengan membawa foto copy KTP dan KK

c. Nasabah membuka rekening tabungan

d. BMT melakukan survey lapangan.

Penentuan margin pembiayaan murabahah di BMT Budi Mulia Bokoharjo selama ini masih berpatokan pada besarnya biaya operasional (minimal sebesar 2% dari jumlah pembiayaan). Setelah pihak BMT menentukan besarnya margin pembiayaan murabahah, anggota masih bisa menawarnya sehingga margin yang ditetapkan merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak.

Sehingga untuk menggunakan akad murabahah ini banyak kelebihan yang dapat diandalkan, diantaranya adalah:

a. Jumlah keuntungan (mark-up) berdasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, BMT dan nasabah/anggota.

b. Jangka waktu pembiayaan harga barang oleh anggota kepada BMT ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, BMT dan nasabah.

c. BMT dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

Disamping dari kelebihan tersebut, akad murabahah juga memiliki kekurangan, yaitu margin keuntungan harus dibayar penuh sesuai kesepakatan diawal akad meskipun pembiayaan murabahah sudah dilunasi sebelum masa jatuh tempo.