Minggu, 20 Desember 2009

TAFSIR ALAT BUKTI Q.S AL-BAQARAH:224, 225 DAN 282

PEMBAHASAN

Pengertian Alat Bukti

Setiap tuntutan hak atau menolak tuntutan hak harus dibuktikan di muka sidang pengadilan. Dalam pembuktian ini diperlukan alat-alat bukti. Alat bukti adalah alat-alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara di muka sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim akan kebenaran tuntutan atau bantahannya[1] Alat bukti ini sangat penting artinya bagi para pihak yang berperkara merupakan alat atau sarana untuk meyakinkan kebenaran tuntutan hak penggugat atau menolak tuntutan hak bagi hakim. Dan bagi hakim, alat bukti tersebut dipergunakan sebagai dasar memutus perkara.

Suatu perkara di pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi dengan menolaknya gugatan karena tidak ada bukti.

Dari uraian singkat di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan utama dari alat bukti ialah untuk lebih memperjelas dan meyakinkan hukum sehingga ia tidak keliru dalam menetapkan putusannya dan pihak yang benar tidak dirugikan sehingga dengan demikian keadilan di muka bumi ini dapat ditegakkan.

Macam-macam Alat Bukti

Alat bukti terdiri dari beberapa macam di antaranya ada yang disepakati oleh Mazhab-mazhab dan sebagainya lagi masih diperselisihkan. Diantara alat bukti yang kebanyakan digunakan oleh para fuqaha seperti diungkapkan oleh Abu Yusuf :

يمـيـن، اقـر ار ، نكو ل ، قسامة ، بـينـة، غلم به ، و قر ان

Artinya :

(Sumpah, Pengakuan, penolakan sumpah, qasamah, bayyinah, ilmu qadhi dan petunjuk-petunjuk).[2]

Menurut sistem HIR dan RBg hakim terikat dengan alat-alat bukti sah yang diatur dengan undang-undang. Ini berarti hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg, dan 1866 BW ada lima jenis alat bukti dalam perdata yaitu: surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah[3].

Sedangkan menurut Hukum Acara Perdata yang biasa dipergunakan pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, ada 7 (tujuh) macam alat-alat bukti yang dapat dijadikan bukti kebenaran dan ketidakbenaran suatu di pengadilan, yaitu:

  1. Alat bukti surat-surat (tertulis)
  2. Alat bukti saksi
  3. Alat bukti persangkaan
  4. Alat bukti pengakuan
  5. Alat bukti sumpah
  6. Alat bukti pemeriksaan setempat
  7. Alat bukti keterangan ahli

Ayat-ayat Alat Bukti

Dari macam-macam alat bukti tersebut di atas kami mencoba menjelaskan dengan menggunakan dalil-dalil al-Qur’an sebagai berikut:

Alat bukti sumpah sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah:224

Asbaabun nuzul dari ayat ini adalah berkenaan dengan sumpahnya Abu Bakar untuk tidak akan memberi belanja lagi kepada Misthah (adalah seorang fakir miskin yang hidupnya dibiayai oleh Abu Bakar Shiddiq r.a.), karena ia ikut serta memfitnah Siti ‘Aisyah. Ayat tersebut sebagai teguran agar sumpah itu tidak menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan.

Tafsiran dari ayat ini menjelaskan bahwasanya tidaklah seseorang itu menggunakan sumpah atas nama Allah untuk menyakinkan orang lain demi kepentingannya sendiri. karena banyak menyebut nama Allah dalam sumpah dapat menghalangi seseorang berbuat kebajikan, bertakwa, dan melakukan ishlah (perbaikan antara manusia). Ini karena penyebutan nama Allah yang bukan pada tempatnya dapat mengantar seseorang terbiasa dengannya, sehingga dengan demikian mengantar ia berbuat dosa, bahkan menjadikan orang tidak percaya kepadanya, sehingga langka-langkahnya untuk melakukan ishlah akan gagal. Ini karena sumpah adalah alat untuk mengukuhkan ucapan, dalam rangka menyakinkan orang lain. Jika seseorang terpercaya, ia tidak perlu menguatkan ucapannya dengan sumpah. Tanpa sumpah pun ia dipercaya. Nah, banyak bersumpah adalah bukti kekurang percayaan, dan ini pada gilirannya menghasilkan halangan melakukan kebajikan, takwa, dan ishlah.[4]

Selanjutnya Surat Al-Baqarah:225

Dalam ayat tersebut disebutkan kata Tidak menuntut, yakni tidak menuntut pertanggungjawaban, yang pada gilirannya mengakibatkan sanksi, siksa, atau kewajiban memenuhinya. Sumpah adalah suatu ucapan yang disertai dengan penyebutan nama Allah, sifat atau perbuatannya, dengan tujuan menyakinkan pihak lain tentang kebenaran ucapan yang bersumpah. Di celah ucapan itu terdapat semacam pernyataan yang tidak terucapkan, bahwa jika apa yang hendak diyakinkan itu, bertentangan dengan isi pengucap, maka ia bersedia dijatuhi kutukan dan sanksi Allah swt. Dari sini sumpah harus menggunakan nama Allah, sifat atau perbuatan-Nya, dan tidak dibenarkan menggunakan selain itu, karena hanya Allah swt. Yang mampu menjatuhkan sanksi atau kutukan. Biasanya sumpah yang dilakukan untuk menyakinkan orang lain disertai jabatan tangan antar keduanya. Dari sini sumpah dinamai yamiin, yang secara harfiah antara lain bermakna tangan kanan, jamaknya adalah aimaan.

Kata dengan redaksi sumpah tetapi tidak bermaksud untuk bersumpah aleh ayat diatas diistilahkan dengan al-laghwu, yang dari segi bahasa berarti sesuatu yang batal, atau dianggap tidak ada. Sesuatu yang demikian, biasanya lahir dari spontanitas, tanpa piker dan pertimbangan. Termasuk dugaan yang keliru.

Walaupun Allah tidak menuntut pertanggungjawaban dalam sumpah yang demikian sifatnya, namun penamaannya dengan al-laghwu member isyarat bahwa menyebut nama Allah tanpa berfikir, tanpa pertimbangan, apalagi yang memberi kesan menyakinkan orang lain, bukankah pada tempatnya dan tidak wajar. Bukankah pada ayat yang lalu telah dikemukakan tuntunan agar jangan sering-sering menyebut nama Allah yang bukan pada tempatnya.

Sumpah yang akan dituntut oleh Allah untuk mempertanggungjawabkan adalah yang dilakukan oleh hati kamu, yakni sumpah dengan menggunakan nama Allah secara sengaja lagi bertujuan menyakinkan pihak kalin. Pertanggungjawaban yang dituntut-Nya itu dapat berbentuk kewajiban memenuhinya, atau bila tidak memenuhinya, maka kewajiban membayar kaffarat, yakni imbalan tertentu berupa puasa atau member makan fakir miskin. Kalau tidak, maka yang bersangkutan terancam dijatuhi hukuman di hari Kemudian.

Ayat yang menyebutkan tentang pembuktian saksi adalah surat Al-Baqarah:282

Inilah ayat terpanjang dalam al-Qur’an, dan dikenal oleh para ulama’ dengan nama Ayat al-Mudayanah (ayat utang-piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran – atau menurut sebagian ulama’ – kewajiban menulis utang-piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.

Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt. Kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.

Kata tadaayantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni daal, ya’ dan nuun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama. Kesemuanya menggambarkan hubungan timbale balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-piutang.

Sedikit menerangkan diatas, kami disini hanya mencoba menjelaskan tentang persaksian, baik secara tulis menulis maupun selainnya.

Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara actual telah menjadi saksi.

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. kata saksi yang digunakan ayat ini adalah syahiidain bukan syaahidain. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada – atau kalau bukan yakni kalau bukan dua orang saksi, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.

Betapapun, ayat di atas tidak menutup kemungkinan kesaksian wanita baik secara luas, terbatas, maupun sempit.

Dalam pandangan mazhab Malik, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk. Mazhab Hanafi lebih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita. Mereka membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah tangga, seperti pernikahan, talak, dan rujuk, bahkan segala sesuatu kecuali dalam soal kriminal. Memang, persoalan kriminal yang dapat mengantar kepada jatuhnya hukuman mati, dan dera, disamping tidak sejalan dengan kelemahlembutan wanita, kesaksian dalam hal tersebut juga tidak lumrah bagi mereka yang diharapkan lebih banyak member perhatian pada anak-anak dan rumah tangganya.

Sebagaimana Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. Karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, merka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang member keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Nanti dalam ayat berikut akan ada larangan tegas disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan kesaksian, yang mengakibatkan kerugian pihak lain.

Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang-piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang.

Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti biaya transport dan biaya , sebagai imbalan jerih payah dan penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertakwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.

Namun dalam penafsiran lain disebutkan lebih jelas dan mendetail mengenai tafsiran ayat ini, Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi diantara manusia karena itu sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti.

Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu:

  1. Akta otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapkan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan yang telah ditetapkan sebagai pejabat yang berwenang dimaksudkan antara lain notaris, jurusita, panitra, dan hakim pengadilan, pegawai catatan sipil dan lain-lain.[5]

Pada setiap akta otentik dikenal 3 (tiga) macam kekuatan bukti, yaitu :

1) Kekuatan bukti lahir yakni berkenaan dengan syarat-syarat formal suatu akta otentik dipenuhi atau tidak

2) Kekuatan bukti formal yakni berkenaan dengan soal kebenaran peristiwa yang disebutkan dalam akta otentik

3) Kekuatan bukti material yakni berkenaan dengan kebenaran isi akta otentik.[6]

2. Akta tidak otentik (di bawah tangan)

Akta tidak otentik atau akta di bawah tangan adalah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah terikat kepada bentuk tertentu.

Misalnya: Surat jual beli tanah, yang dibuat oleh kedua bela pihak, sekalipun di atas kartu segel dan ditandatangani oleh ketua RT, ketua RW, lurah/kepala desa, tidak bisa disebut akta otentik karena pejabat berwenang membuat akta tanah yang disebut PPAT, hanyalah notaris dan camat.

  1. Alat bukti saksi

Kata sandi jika dilihat dari pengertian terminologi berarti orang yang mempertunjukkan, memperlihatkan, sebagai bukti.[7] Sedangkan menurut istilah syara’ ialah orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri.[8]

Jadi saksi yang dimaksud dalam hal ini adalah manusia hidup. Sedangkan menurut Sayid Sabiq dalam kitab sunnah bahwa yang dimaksud dengan saksi itu adalah memberitahukan seseorang tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya.[9] Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan sebenarnya.

Bila dimaksudkan bahwa saksi adalah orang yang betul-betul sebagai saksi karena menyaksikan sendiri suatu perkara maka dinilai bahwa kesaksian tersebut adalah merupakan salah satu bukti dalam hukum pembuktian.

Kebanyakan ahli hukum Islam (Fuqaha) menyamakan kesaksian itu dengan bayyinah, apabila saksi disamakan dengan bayyinah maka itu berarti pembuktian di muka hakim hanya dimungkinkan dengan saksi saja.[10]

Dasar hukum daripada alat bukti saksi dapat dilihat dalam Q.S. al Baqarah (2): 282

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَاأَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا

Terjemahnya :

“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…”[11]

Dalam dalam Q.S. an Nisah (4) 135 yaitu :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّه

Terjemahnya :

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…” [12]

Kesaksian hanya wajib ditunaikan jika saksi mampu menunaikannya tanpa adanya bahaya yang menimpanya baik dibadannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya, berdasarkan firman Allah swt dalam Q.S. al Baqarah (2) 282 yaitu:

وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ

Terjemahnya :

“….Janganlah penulis dan saksi itu mendapat kesulitan …”[13]

Kesimpulannya bahwa setiap saksi yang memberikan kesaksiannya di depan hakim hendaknya memperoleh jaminan keamanan baik jiwa, harta dan kehormatannya. Karena setiap kesaksian dipandang wajib bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan akan perkara yang ia ketahui secara pasti tentang kebenaran tersebut.

Sehingga dengan adanya kesaksian dari saksi tersebut diharapkan akan terungkapnya suatu kebenaran diantara pihak-pihak yang berperkara dengan sebab itulah maka berdosa hukumnya bagi orang yang memenuhi syarat untuk menjadi saksi menolak untuk tidak memberikan kesaksiannya, berdasarkan firman Allah swt di dalam Al-Qur’an Q.S. al Baqarah (2) 283 yaitu :

وَلا تَـكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُـهُ وَاللَّهُ بـِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Terjemahnya :

“…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[14]

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tentang kedudukan saksi dalam hukum pembuktian yaitu sebagai alat bukti, diantara alat bukti lainnya yang dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun dalam berbagai alasan demi untuk membuktikan suatu kebenaran antara pihak-pihak yang berperkara, hingga adanya saksi sebagai alat bukti yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak begitu saja diterima sebelum saksi yang diajukan kemuka pengadilan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh hukum pembuktian. Dan dalam hal ini yakni hukum pembuktian yang dianut oleh peradilan khususnya Peradilan Agama yang merupakan pembahasan utama dalam hal ini, dalam kaitannya dengan eksistensi saksi non muslim di mata hukum Islam.

Untuk memberitahukan kesaksian yang dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian kuat wajib memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :

a) Beragam Islam

Saksi dalam hal ini haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.

b) Baliqh

Saksi yang belum mencapai usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan kesaksian.

c) Berakal

Persaksian dari pada saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh saksi dalam suatu persaksian.

d) Merdeka

Merdeka ialah saksi dalam memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak sebagai budak atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.

e) Adil[15]

Sifat keadilan dari saksi dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim karenanya sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan diri, dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.

Syarat-syarat saksi yang dikemukakan di atas adalah merupakan syarat-syarat yang diperpegangi oleh peradilan agama, namun ada beberapa tambahan syarat seperti yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnahnya, dengan dua syarat tambahannya yaitu mampu berbicara tidak bisa, dan bukan sanak famili atau keluarga terdekat salah satunya.

Persyaratan yang harus dimiliki oleh saksi atau beberapa orang saksi seperti yang telah diuraikan di atas merupakan syarat mutlak yang mesti ada pada saksi, walaupun dalam beberapa hal sebagaimana yang dimaksud oleh Sayyid Sabiq harus tidak bisu dan khusus yang diatur oleh Peradilan Agama dalam perkara perdata.[16]

Syarat-syarat saksi yang diuraikan di atas adalah merupakan syarat yang dikenakan pada seorang saksi sebelum memberikan kesaksian, karena saksi dalam hal ini merupakan orang yang menyaksikan suatu peristiwa hukum yang sekaligus sebagai syarat hukum dalam membuktikan kebenaran yang terdapat pada salah satu pihak yang mengajukan perkaranya di muka sidang, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa syarat-syarat tersebut adalah merupakan ketentuan khusus yang dianjurkan oleh hukum pad seorang saksi.

Lima syarat yang dikemukakan di atas ditambah dengan dua syarat oleh Sayyid Sabiq yaitu beragama Islam, baligh, berakal, merdeka adil tidak bisu dan bukan keluarga dekat dari pihak-pihak yang berperkara adalah merupakan ketentuan yang wajib dimiliki oleh seorang saksi.

Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang tidak dapat diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah :

  1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang sah
  2. Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah ada perceraian
  3. Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun
  4. Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.[17]

Sejalan dengan maksud di atas, nabi saw telah memperingatkan agar tidak mengangkat saksi orang pengkhianat, orang yang memiliki rasa dengki terhadap saudaranya, dan pembantu terhadap tuannya. Nabi bersabda :

لاتجوز شهادة خائن، ولاخائـنـة، ولاذى غمـر على اخيه ولا تجوز شهادة القانع لا هل البيت (رواه احمد و ابو دود)

Artinya :

Tidak boleh diterima kesaksian seorang pengkhianat laki-laki dan tidak pula pengkhianat perempuan, orang yang memiliki perasaan dengki terhadap saudaranya, dan tidak diterima kesaksiannya seorang pembantu atas tuannya.[18]

Selain itu, ada pula golongan orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajiban untuk memberi kesaksian, mereka yang boleh mengundurkan diri sebagai saksi disebutkan dalam pasal 146 ayat (1) HIR, pasal 114 RBg. dan pasal 1909 alinea 2 BW, atau disebut dengan sebagai hak ingkar. Mereka itu adalah :

  1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak
  2. Keluarga saudara menurut keturunan yang lurus, dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau isteri salah satu pihak
  3. Semua orang yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia akan tetapi hanya semata-mata mengetahui pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.[19]

Saksi-saksi yang dipanggil ke muka sidang pengadilan mempunyai kewajiban menurut hukum yaitu :

  1. Kewajiban untuk menghadap atau datang memenuhi panggilan persidangan, yang mana dirinya dipanggil dengan patut dan sah
  2. Kewajiban untuk bersumpah sebelum memberi keterangan, sumpah ini menurut ketentuan agamanya dan bagi suatu agama yang tidak memperkenankan adanya sumpah maka diganti dengan mengucapkan janji
  3. Kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar

Dalam peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata tidak ada persyaratan secara mutlak untuk diterima sebagai saksi, baik jenis kelamin, sifat, dan beberapa jumlah ideal. Perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk diterimanya seseorang menjadi saksi, karena prinsip utama dalam masalah pembuktian adalah terungkapnya suatu kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa antara para pihak dimuka majelis hakim, dengan hal tersebut keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan.[20]

Dalam hal membuktikan suatu peristiwa yang terjadi antara orang-orang yang berperkara atau lebih dikenal dengan istilah pihak-pihak yang berperkara maka dalam Hukum Acara perdata dikenal adanya asas hukum pembuktian yang di dalamnya terdapat saksi sebagai salah satu unsur pembuktian dan merupakan pelengkap terhadap bukti-bukti lain yang diajukan oleh penggugat, karena pembuktian itu sendiri sebagaimana yang dimaksud kitab undang-undang hukum perdata pasal 1856 BW bahwa :

“Setiap orang yang mendalihkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain atau menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.[21]

Ini merupakan petunjuk bahwa setiap perkara dalam kasus perdata, yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara diharuskan memberikan pembuktian yang nyata dan jelas. Sedangkan pembuktian yang dimaksud oleh Prof. R. Subekti, S. H. dalam bukunya “Hukum Pembuktian” , menjelaskan bahwa pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.

KESIMPULAN

Dari ayat-ayat tersebut di atas membuktikan bahwasanya al-Qur’an merupakan kitab yang lengkap yang telah mengatur segala urusan duniawi maupun ukhrowi termasuk juga mengenai alat bukti sebagaimana yang telah kita ulas di atas. Adapun alat bukti tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 224, 225, dan 282 yang telah kita jelaskan.

Kesaksian dan persaksian yang diberikan oleh para saksi harus pula memenuhi kriteria atau syarat-syarat yang dipakai dan disepakati oleh para ahli hukum Islam, sehingga kesaksian yang diberikan di muka Pengadilan Agama dapat dijadikan sebagai alat pembuktian.

Hal ini dapat dilihat dari berbagai keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits yang menyangkut soal saksi dan persaksiannya, di sisi lain dapat pula dilihat pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ahli hukum Islam atau fuqaha Islam. Dimana para ahli hukum Islam memberikan suatu dalil yang diambil dari sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah dan dari sumber hukum Islam lainnya.

Sedangkan menurut M. Nur Rosaid, S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata, persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, yang menarik kesimpulan ini adalah hakim atau undang-undang. Satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu, jadi harus banyak persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling berhubungan/saling menutupi. Oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan tersebut.

Oleh karena itu, para praktisi hukum di pengadilan agama harus membedakan status saksi antara status saksi sebagai syarat hukum agama Islam dengan status saksi sebagai alat bukti, untuk dapat mengetahui kedudukan saksi tersebut, tidaklah mungkin dilakukan oleh praktisi hukum kalau tidak mengetahui sepenuhnya hukum materil Islam, sedangkan saksi sebagai alat bukti merupakan pembenaran suatu peristiwa yang berkaitan dengan hukum formal.

DAFTAR PUSTAKA

· Abdul Manan Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana: Jakarta, 2006

· Ash-Shiddiqi Nasir, Tafsir Al-Qur’an, Bulan Bintang: Jogjakarta, 1965

· Bahreisy Salim, terjemah singkat tafsir Ibnu Katsir, PT. bina Ilmu: Surabaya, 1987

· Lomba Sultan dan Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintasan Syari’ah, Makassar : tp. 2001

· Shaleh Qamaruddin dkk, Asbabunnuzul Latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an, Diponegoro: Bandung, 1995

· Shihab M. Quraisy, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati: Tangerang, 2000

· Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , Liberty: Yogyakarta, 1993

· http://www.wikipedia.com



[1] Lomba Sultan dan Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintasan Syari’ah (Makassar : tp. 2001), h. 100.

[2] Lomba Sultan dan Halim Talli, op. cit., h. 100-101.

[3] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Cet. VII; Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 119.

[4] H. salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, terjemah singkat tafsir Ibnu Katsir, jld.1 hlm.396

[5] H. Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. VIII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 148

[6] Abdul Kadir Muhammad, op. cit., h. 120-121.

[7] Anton M. Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 779.

[8] H. Roihan A. Rasyid, op. cit., h. 152.

[9] Lihat, Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid 3 (Jakarta: al Maktabah al Khadimat al Haditsah, 1989), h. 318.

[10] H. Raihan A Rasyid op. cit., h. 152-153

[11] Departemen Agama RI, loc. cit.

[12] Ibid., h. 131

[13] Ibid., h. 60

[14] Ibid.,

[15] H. Raihan A Rasyid op. cit., h. 166.

[16] Sayyid Sabiq loc. cit

[17] Abdul Manan Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Cet. IV; Jakarta : Kencana, 2006) h. 373

[18] Lomba Sultan, op. cit., h. 105-106

[19] Abdul Manan, loc. cit

[20] Ibid., h. 373-374

[21] R. Subketi dan R. Tjitrosudibo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Cet. 35; Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), h. 419.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar